“Putra sedang apa ya sekarang?”
Sembari berbaring di atas kapuk, Nia merindukan sebuah senyum dari seorang lelaki idamannya. Sorot cahaya matahari yang dipantulkan melalui bulan masuk ke dalam kamar melewati sela-sela genting. Cahaya itu menjadi teman sejati Nia kala membayangkan sebuah bayang yang tak terbayangkan mampu membayang-bayang. Hanyutlah Nia dalam sayup, dan menuju lelap.
Tak lama kemudian, Nia terkagetkan oleh sorot cahaya yang begitu benderang, tepat di balik kelopak matanya. Tersentak kaget, terbeliak dan terduduk di atas ranjang.
“Lah, jam berapa ini?!!”
Nia langsung mencari ponselnya di bawah bantal, namun tak ada apapun selain beberapa helai rambut rontoknya. Merasa gelisah, dengan gegas ia balik kasur tidurnya.
“Uhuk uhuk uhuk...”
Kapas-kapas beterbangan kemana-mana karena tiba-tiba kasurnya robek. Terbatuk brutal, akhirnya Nia mengabaikan ponselnya dan berlari keluar kamar untuk melihat jam. Memang di kamarnya tidak dipasang jam, karena sudah terbiasa bergantung pada ponsel tercintanya. Menuju ruang tamu, dan menengok dinding bagian atas.
“Jam 8?! Omegot, telat!!!” teriak Nia kaget.
Berlari menuju kamar, Nia langsung mengganti bajunya tanpa membasuh tubuhnya terlebih dahulu. Secepat kilat ia berganti kostum dan langsung berlari keluar rumah tanpa berpamitan dengan ibunya. Arah jalan raya yang dilewati angkot cukup jauh, ia harus menempuh jarak satu kilo terlebih dahulu. Ketika di depan rumah tetangga yang tak jauh dari rumahnya, langkah larinya pun terhenti. Terlihat seorang lelaki sedang mencuci motor dengan santainya.
“Kaga.. hah.. hah.. kaga berangkat lu Dik?!” tanya Nia sembari ngos-ngosan.
“Eh, Nia.. Pagi-pagi udah gembel aja. Kaga sisiran dulu mbak? Haha,” jawab Diki sambil membalikkan badan.
“Lo yang gembel! Hah..hah... Ayo buruan berangkat!”
“Lah, kemana? Mau ngajak lari kamu? Kok ndadak gini sih? Aku belum mandi loh?” ujar Diki sambil mencium keteknya, yang menandakan bahwa tubuhnya bau.
“Lari pala lo, ayo ngampus! Udah telat banyak nih!!” sentak Nia dengan keras.
“Haha, ini hari sabtu Nyonya, apakah ada jadwal di harimu, Nya?” tanya Diki dengan tawa.
“Eh, benarkah?” jawabnya dengan muka linglung.
Nia merasa menjadi manusia terbodoh karena tidak tau hari. Bagaimana bisa tau, toh ponselnya sudah rusak dan belum memiliki ganti. Mau pulang, tapi malu. Mau mampir, malah lebih malu. Tiba-tiba bau bandeng goreng masuk tanpa permisi ke lubang hidung Nia, yang merupakan makanan kesukaannya.
“Hmm.. Bau apa nih?” tanya Nia berbasa-basi.
“Bau pengemis makanan!” sahut Diki dengan nada sadis.
bersambung...
ConversionConversion EmoticonEmoticon