<<sebelumnya di bagian 11...
Tia hanya memandang Pak Slamet dengan tatapan malas disisa-sisa efek mabuk ketidaksengajaannya. Pak Slamet terus mengoceh dengan berbagai kalimat, namun tak ada satupun yang dapat Tia simak dan pahami. Sesekali Pak Slamet meneteskan airmatanya ketika melihat Tia yang ling-lung dihadapannya. Ia merasa bahwa keling-lungan Tia ini akibat kesalahannya yang tak mampu membalas kasih tulusnya.
Kabar tentang Tia yang mencintai Pak Slamet sudah diketahuinya sejak beberapa hari lalu, karena Pak Slamet juga masuk dalam grup fesbuk yang diadmini oleh Amel. Rasa bersalah pada diri Pak Slamet yang dilampirkan dengan wajah melasnya membuat Tia sedikit sadar dari alam mabuknya. Akhirnya Tia mampu menyitarkan apa yang Pak Slamet ungkapkan dari melas wajah Pak Slamet.
“Pak, ada apa sih?” tanya Tia dengan mata sayup akibat masih terbawa suasana mabuknya.
“Kamu bicara padaku? Ya Tuhan... terimakasih kau telah kabulkan permintaanku.”
Setiap malam Pak Slamet selalu memanjatkan doa kepada sang Maha Kuasa untuk termaafkan tentang dosa yang tak pernah ia sadari akannya. Sebuah ucapan yang keluar dari mulut Tia merupakan hal yang sangat berharga menurutnya, karena sebuah permohonan maaf yang sejati tak akan terjadi di dalam suatu kediaman abadi.
“Bapak ngomong apa sih dari tadi?” tanya Tia kebingungan.
Tia mulai sadar akan dunia nyatanya, ia semakin sadar dan meninggalkan dunia mabuk dengan sedikit jejak yang tersisa. Matanya mulai meninggalkan kesayupan dan mulai hidup sebagaimana mestinya.
“Kamu marah ya dengan bapak?”
“Iya, saya marah banget pak,” jawab Tia dengan penuh kekesalan.
“Maafin bapak, bapak tuh gak sengaja nglakuin itu.”
“Lah, salah siapa naruh minuman keras di botol sirup. Dimasukin ke kulkas lagi, dasar bapak edan!”
Pak Slamet merasa bingung akan ucapan yang keluaer dari mulut Tia. Sosok bapak yang diucapkan Pak Slamet disalah artikan oleh Tia, ia kira bapak tersebut adalah bapak tiri keempatnya. Ketidaknyambungan itu menciptakan keheningan beberapa detik diantaranya.
“Tia, maksud kamu akan minuman keras apa? Baka benar-benar tidak paham, yang bapak maksud adalah kesalahan bapak yang tidak membalas cintamu. Bapak benar-benar minta maaf akan semua itu, bapak tidak tau sama sekali.”
“Eh, maaf pak. Saya kira bapak yang lain. Hehe, gak papa kok. Aku udah bisa nyesuaiin diri dengan semua ini.”
Senyuman terpancar dari wajah Tia yang menciptakan sebuah keteduhan yang tak terkira. Pak Slamet hanya bisa tersenyum kecil sambil menghapus beberapa butir air matanya yang hampir menetes dari sudut matanya.
Perasaan bahagia akan sebuah ungkapan maaf mampu menciptakan suasana damai yang tak ternilai harganya. Langsung dengan sigap Pak Slamet memajukan badannya untuk mendekap Tia. Tia hanya mampu membalas dekapan itu dengan senyuman yang diiringi dengan sayup pejam.
“Tia, aku ingin jujur padamu. Sekarang aku ingin ajak kamu ke suatu tempat.”
Tangan Tia langsung digenggamnya dengan erat dan ditariknya ke suatu tempat. Tia mengikuti tarikan itu dengan tersendat-sendat karena tarikan Pak Slamet begitu cepat. Sesekali ia tersandung bebatuan kecil di sekitar langkanya dan mengakibatkan goresan cacat di sepatu lawasnya.
“Saya mau dibawa kemana pak?”
“Sudahlah, nanti kamu akan tau segalanya.”
Sampai di tempat tujuan, ternyata Pak Slamet membawanya ke samping WC belakang sekolah. Dilihatnya beberapa orang yang ia kenal, salah satunya Amel.
“Amel? Ngapain kamu di sini?!” tanya Tia kebingungan.
“Gak papa Yak, cuma mau ngeliput.”
Pak Slamet melepaskan genggaman eratnya seketika dengan memandang Tia dengan serius. Tia hanya mampu membisu seribu kata.
“Tia, aku mau jujur sejujur-jujurnya denganmu, maupun denganmu,”ucap Pak Slamet sambil memajukan kepalanya untuk menunjuk seseorang di belakang Tia.
Seketika tubuh Tia memutar dan terlihatnya sosok guru wanita yang paling ia benc, yaitu calon istri Pak Slamet yang mengusirnya dari kelas saat lalu. Kulit jidat Tia berkumpul ke tengah dan membentuk bentuk emosi yang memuncak.
“Ngapain ada bu ini segala?!” tanya Tia dengan nada sedikit tinggi.
“Iya, dia Yuli yang dijodohkan oleh orang tua kami. Sekarang aku mau jujur dengan kalian, maaf jika aku tidak punya perasaan apapun seperti perasaan kalian terhadapku. Sama sekali bukan maksudku untuk mengecewakan kalian, tapi memanglah ini kenyataannya. Maafkan aku.”
Tak mampu terbendung, air mata Pak Slamet menerocos dengan deras melewati pipi dan menetes dari dagu. Beberapa bercak di sepatunya menandakan bahwa rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi karena telah mengecewakan banyak pihak.
“Lalu, kenapa bapak bawa aku kesini jika malah semakin mengecewakanku!” teriak Tia di depan tangisan Pak Slamet.
“Kenapa Mas!” lanjut Bu Yuli yang sependapat dengan Tia.
Tia menjabat tangan Bu Yuli karena merasa sejalan. Timbul tanda tanya besar di benak mereka berdua. Setelah beberapa saat, Pak Slamet pun mengutarakan alasannya.
“Sebenarnya..” ucap Pak Slamet yang belum rampung.
“Apa?!” teriak Tia dan Bu Yuli secara bersamaan.
“Dia lah yang menjadi alasanku untuk tidak mencintai orang lain selainnya.”
Pak Slamet menunjuk seseorang di belakangnya. Terlihat Amel yang sedang sibuk mengepost status gosip melalui ponsel genggamannya.
“Amel! Jadi kamu...” teriak Tia dengan tegas.
Amel melepas ponsel karena ketakutan akan auman Tia. Kedua tangan dan kepalanya reflek berayun kanan kiri, mengisyaratkan bahwa dia tak tahu menahu akan semua yang telah terjadi.
“Bukan dia!” teriak Pak Slamet untuk merevisi teori Tia agar lepas dari kesalah pahaman. “Tapi dia!” sambungnya dengan menunjuk seseorang yang berjalan di belakang Amel.
Tampak seseorang berjalan dengan lembut mengenakan seragan SMA. Sesekali ia meludah di samping jalannya untuk menandakan kesantaiannya menghadapi sebuah masalah yang terjadi di depannya. Sesekali ia kibaskan rambutnya yang amburadul tanpa sisir jika terkena angin.
“Kamu?!!”
Tia sangat merasa mengenalnya, sangat begitu mengenalnya walau belum kenal. Rasa syoknya membuatnya mengeluarkan pipis sedikit di celana dalamnya. Sangat begitu syok dan akhirnya Tia bersama Bu Yuli berteriak bersama.
“aaaa...” ucap Tia dan Bu Yuli bersama-sama. “AAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!” lanjut mereka dengan sangat lantang.
“Maafkan aku, aku sebenarnya tak menginginkan semua ini terjadi. Dia adalah Bangkit, siswa dari SMA Bayangkan Saja yang terletak di samping Artus Swalayan. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dua minggu lalu, dia pun begitu ternyata. Dan akhirnya, kami jadian di hari berikutnya. Kami akan menikah setelah Bangkit selesai UN, minta do’a restunya ya?”
Pak Slamet merasa lega telah berani mengutarakan semuanya di depan orang-orang yang menyayanginya. Alasan tersebut membuat Tia, Bu Yuli, dan Amel memuntahkan isi perutnya secara bersama-sama. Ponsel Amel pun konslet setelah melucut dan tertumpahi muntahannya sendiri. Namun sebelum konslet, Amel sudah melakukan update berita yang telah diketahui seisi sekolah.
Tia merasa begitu kaget setelah mengetahui dua orang yang diidolakannya ternyata saling ada keterkaitan satu-sama lain. Sungguh faktawi yang sangat membuat jiwanya tergoncang hebat.
Akhirnya Pak Slamet dan Bangkit di jemput mobil polisi dan akan melakukan tahap rehabilitasi. Sedangkan Amel, mendapat ponsel baru dari sekolah karena menjadi duta gosip, eh, berita terupdate di sekolahnya. Ia pun diangkat sebagai ketua jurnalistik di organisasi sekolahnya.
Tia merasa lega di campur kemualan di hari-hari seterusnya. Ia bingung harus merasa bersyukur atau jengkel akan kejadian itu. Matanya memerah penuh akibat tidak bisa memejamkan matanya di beberapa malam. Sesekali ia mampu tertidur, namun beberapa menit kemudian ia terbangun dengan histeris karena kedatangan mimpi buruk.
Sampai akhirnya ia menjadi seorang wanita yang lupa akan segalanya. Ia lupa akan siapa dirinya, siapa orang tuanya, siapa sahabat-sahabatnya. Keadaan itu menggiringnya ke pinggir jalan yang kini menjadi tempat tinggalnya sehari-hari.
~TAMAT~
ConversionConversion EmoticonEmoticon